Jumat, 17 Desember 2010

Spirit Warteg dan Kultur Wirausaha Tegal

Spirit Warteg dan Kultur Wirausaha Tegal

Kuliner saat ini tidak lagi dianggap sebagai persoalan makan dan pemenuhan kebutuhan subsistensi dasar belaka semenjak Bondan Winarno menjadi host Wisata Kuliner di Trans TV beberapa tahun lalu. Kuliner telah naik kelas menjadi satu ‘disiplin ilmu’ dan ‘layak’ didiskusikan secara ilmiah. Kuliner kemudian dikenal publik sebagai karya yang direproduksi dari tradisi, sistem nilai, dan budaya yang panjang. Begitu juga ketika kita hendak membincangkan Warteg. Warteg, sebagaimana Rumah Makan Padang, Lapo (Lepau) Tuak Medan, Lesehan Jawa (Sunda, Yogyakarta atau Solo), Warung Kopi, Warung Bubur Kacang Hijau (Burjo) atau Kedai sejatinya merupakan manifestasi dari budaya yang terangkum dalam tradisi kuliner.

Karakteristik

Hampir setiap kita pernah mendengar idiom Warteg, melihat ujud Warteg, sampai menjadi pelanggannya. Namun ketika ditanya bagaimana karakteristik Warteg, kiranya tak banyak dari kita yang mampu menjawabnya secara memuaskan. Realitas ini mengindikasikan bahwa karakteristik Warteg merupakan ‘sesuatu yang ilmiah’, yang dapat diidentifikasi menurut metodologi riset seperti observasi, studi literatur hingga interview mendalam.

Sejarah Warteg dapat dilacak menurut beberapa versi. Sejauh ini, sebagian besar kalangan percaya Warteg bermula sejak tahun 1950-an hinggan 1960-an. Saat itu pembangunan infrastruktur di ibukota demikian pesat. Sejumlah proyek dikerjakan, yang menimbulkan efek berganda (multiplier effect) sejumlah pekerja (tukang dan kuli) yang cukup banyak. Pekerja bangunan ini umumnya mendirikan bedeng-bedeng sementara di lokasi proyek. Selain tempat tinggal, pekerja ini membutuhkan konsumsi yang dapat dijangkau koceknya: murah, dan banyak.

Peluang ini rupanya dibaca secara kreatif oleh warga Tegal. Kelompok imigran asal Tegal di ibukota mulai menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek. Mereka mampu menjual produk yang murah dan banyak, yang kemudian menjadi satu stereotip Warteg yang dikenal publik hingga hari ini. Realitas ini kemudian menjadikan stereotip awal Warteg: berada di sekitar lokasi proyek, dibuat dari bahan-bahan semi permanen seperti halnya bedeng pekerja proyek, bersifat musiman mengikuti periodisasi pengerjaan proyek, dikerjakan oleh 3-5 pekerja boro yang umumnya laki-laki.

Versi kedua merunut rentang historis yang lebih panjang lagi. Bermula dari setting gegeran Mataram-Batavia antara Sultan Agung dan VOC. Saat itu Tegal sebagai wilayah perbatasan Mataram dengan Cirebon, dan Batavia. Sudah diingat publik dalam pelajaran sejarah bahwa Sultan Agung dua kali menyerang Batavia secara besar-besaran, berturut-turut tahun 1628 dan 1629. Untuk kepentingan penyerangan ini, Sultan Agung memerintahkan pembukaan lahan sawah di wilayah Indramayu, Karawang dan sekitarnya, untuk menjamin ketersediaan logistik pasukan yang akan bertempur. Sultan Agung bahkan sampai mengerahkan kawula Mataram untuk menjadi petani di Indramayu dan sekitarnya (Mangunwijaya, 2007). Bupati Tegal kala itu, Tumenggung Martoloyo ditunjuk sebagai senapati panglima perang, sekaligus menyiapkan ubo rampe peperangan, termasuk penyediaan logistik. Meski belum ada bukti otentik, kuat dugaan Martoloyo mengerahkan warga Tegal menjadi petani yang menyiapkan lahan di Indramayu, hingga menjadi juru masak pasukan di Batavia. Hingga saat ini, realitas yang tercatat dalam sejarah memang hanya pengerahan warga Tegal sebagai prajurit penggempur VOC di Batavia (Kustomo, 2004).

Bangunan Warteg saat ini umumnya tidak lagi berbentuk bedeng darurat. Banyak bangunan Warteg dibuat semi permanen atau permanen. Ciri umum yang masih melekat adalah luas Warteg yang umumnya sempit sekira 15-20 M, serta bercat biru dan berada di lokasi yang ramai. Sajian yang disuguhkan umumnya terdiri dari banyak ragam sayur dan lauk, namun tak seperti Rumah Makan Padang yang populer dengan lauk rendang, dan sambal balado sajian Warteg tak ada yang spesifik pasti ada pada setiap Warteg (Juanda, 2004).

Ekspansi Bisnis

Meski bisnis Warteg telah mengubah wajah banyak desa di Tegal, namun hingga saat ini ekspansi bisnis Warteg masih identik dengan warung sempit yang menyebar di pinggiran ibukota. Berbeda dengan sejawatnya Rumah Makan Padang yang telah merambah hingga ke mall dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Citra ‘warung pinggir jalan’ bagi Warteg bisa bermakna penguatan citra sebagai makanan yang murah-meriah sekaligus memelihara tradisi Warteg yang memang tumbuh dari pinggiran. Namun bagi kepentingan bisnis, citra semacam ini tentu tidak strategis. Pada banyak rumah makan berkelas, soal makan seringkali hanya soal kemasan ketika pengusaha rumah makan menyulap warungnya sekaligus menjadi lokasi rehat yang menarik. Instrumen-instrumen bantu seumpama kolam, warung apung, sawah buatan, tampilan warung alami atau sebaliknya modern dengan pendingin udara, adalah kiat untuk memperluas pasar.

Realitas ini semestinya dijawab oleh pengusaha Warteg untuk bersaing merebut konsumen menengah atas. Pengusaha Warteg, atau Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) sebagai organisasi pengusaha Warteg perlu membuka peluang baru mencitrakan Warteg sebagai seni kulinari, tak sekedar semata-mata soal makan. Sudah saatnya Warteg muncul dengan kemasan baru di mall, pusat perbelanjaan, restoran-restoran alam, bahkan jaringan waralaba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar